Langsung ke konten utama

Saya Malu Disebut Pendaki Gunung

ME! 

Mungkin pandangan saya tentang gunung sudah kuno. Mungkin saya masih tetap hidup di masa lalu

Memanggul ransel di punggung, sepatu lusuh, kemeja flannel, dan ikat kepala ethnic terlihat matching dengan rambut sedikit acak-acakan. Keren dan mengagumkan. Gaya seorang pendaki, selalu bisa membuat hati berdebar. Iya, itulah perasaan yang selalu muncul ketika bertemu pendaki. Mereka keren! Sepertinya, saya sudah jatuh hati pada para pendaki gunung.

Dari mata turun ke hati, saya begitu mengagumi pendaki


Di mata saya, mereka para sesepuh gunung, begitu saya memanggil mereka, memiliki kharisma tersendiri. Orang paling keren waktu itu, Vino G. Bastian, masih kalah keren dari pendaki. Dengan ransel segede kulkas dan sepatu boot, mereka begitu mudah menjadi idola remaja saat itu. Yang namanya fans, pasti selalu ingin tahu tentang idolanya.
"Mas, udah mendaki gunung mana saja?"
Itu salah satu pertanyaan klasik yang selalu saya, si pemula ini, lontarkan. Sekadar ingin tahu, sudah sejauh mana mereka menapakan kaki. Ingin belajar dan memperoleh inspirasi.




Yang namanya fans, selalu ingin terlihat keren seperti idolanya


Saya selalu kepo dengan semua barang keren yang mereka miliki. Lihat saja ransel Deuternya, jaket Mamoot, sepatu boot Salewa, tenda ultralight, belum lagi gear-gear canggih lainnya. Terus terang, saya selalu membayangkan mengenakan dan melengkapi gears gunung seperti mereka. Pasti saya juga bisa keren. Apalagi, waktu itu belum banyak yang tahu apa itu Deuter, apa itu Salewa.
Saya pun menabung mengumpulkan uang hasil kerja paruh waktu untuk membeli alat-alat gunung yang harganya bisa 4 kali lipat dari gaji memberi les privat per bulan. Ini gaji saya yang terlalu kecil atau gearsnya yang terlampau mahal? Mungkin keduanya.


Karena gears sudah cukup lengkap, saya siap mendaki

Deuter Spider biru, sepatu boot Hi-tech, jaket Lafuma, dan ikat kepala oleh-oleh teman dari Ende. Itu semua barang yang selalu saya kenakan tiap mendaki. Sudah terlihat hampir sama seperti idola saya. Sepertinya saya sudah cukup keren untuk penampilan seorang pendaki gunung. Ah, percuma saja keren tapi tak pernah menginjakkan kaki di Gunung Slamet, apalagi belum ke Semeru, pikir saya.

Masa muda yang menggebu, buku catatan saya penuh dengan bucketlist pendakian. Ingin mendaki seluruh gunung di Jawa Tengah, Jawa Barat, Kerinci, dan Rinjani. Impian saya, si pemula, saat itu.

Saya menjadi sering mendaki untuk mencentang bucketlist pendakian. Sebulan bisa 3 kali mendaki. Paling lama, dua bulan sekali. Lebih dari itu, saya bisa sakau. Seperti tak mempunyai gairah hidup.

Jangan Panggil Saya Pendaki

Ada kebanggaan tersendiri karena sering mendaki. Dalam hati saya bangga sudah pernah memeluk puncak-puncak gunung di Jawa Tengah. Kenapa tak Semeru? Karena terus terang dua kali ke sana, saya tak pernah mampu menggapai Mahameru. Saya iri dengan kalian yang berhasil berjumpa dengan' dia'. Tapi, saya tak berkecil hati. Karena bagi saya puncak itu bukan titik tertinggi gunung yang kita daki. Tapi, titik maksimal di mana kita sanggup menapakan kaki di sana.

Sebangga-bangganya saya dengan gunung, saya tak pernah bangga di sebut pendaki. Bukan karena pendaki tak keren, tapi apa sih saya ini? Pengetahuan pendakian saya pas-pasan, tak pernah ikut organisasi pencinta alam, belajar mendaki pun otodidak. Saya hanya orang yang jatuh hati pada gunung dan pendaki-pendaki keren yang saya temui selama di perjalanan. Saya hanya penikmat gunung yang menikmati setiap lekuk lukisan alam Tuhan yang begitu indah. Saya hanya penikmat wangi tanah gunung yang basah terkena hujan.

Saya Malu Disebut Pendaki

Entahlah, rasa kagum saya pada para pendaki gunung menguap bersama maraknya pendakian. Pendaki berkharisma yang sering saya temukan di setiap tanjakan entah di mana rimbanya. Saya yakin mereka masih ada, namun tak nampak nyata.

Saya merasa kehilangan sosok idola yang dulu saya puja-puja. Semua pendaki kini terlihat sama. Keril besar, sepatu boot, buff, joger pants, action cam. Secara penampilan fisik pendaki yang sekarang masih sama. Namun, saya harus minta maaf, karena dalam pandangan saya, pendaki yang saya temui tak ada lagi yang spesial. Tak lagi membuat hati ini berdegup kencang kagum memandang.

Meskipun saya kehilangan sosok idola, bukan berarti saya juga kehilangan rasa untuk tetap menikmati gunung. Saya masih suka menikmati sunrise dari balik pintu tenda. Menghirup segarnya udara gunung pagi hari. Saya tak pernah kehilangan rasa semangat memasak aneka menu di gunung. Dan kenikmatan menyeruput segelas kopi panas di gunung selalu sama. Hangat.

Gunung, kopi, teman pendakian, dan hal-hal yang tercipta selalu membawa kehangatan. Seperti hangatnya rasa saat di rumah. Iya, karena gunung adalah rumah bagi setiap orang, bagi semua pendaki.

Because, a mountain is home for everyone. It's not only mine or theirs, but it's ours

Apakah kalian juga masih memiliki rasa yang sama? Rasa hangat saat di gunung? Beruntunglah kalian, karena sekarang rasa itu perlahan mulai memudar. 'Rumah' saya perlahan mulai hilang.

Saya kehilangan hangatnya sapaan pendaki yang dulu saya temui di sepanjang jalan. Tak lagi ada obrolan hangat dengan pendaki di tenda sebelah.
Terlalu banyak yang mendaki. Terlalu banyak pendaki gunung yang sibuk berfoto selfie daripada berinteraksi santun dengan pendaki gunung lain. Yang kadang membuat kesal, ada orang yang tak tahu aturan. Foto selfie di depan tenda tanpa permisi. Memutar musik pagi buta terlampau keras. Tak lagi bertegur sapa.

Sudahlah, mungkin pandangan saya tentang gunung sudah kuno. Mungkin saya masih tetap hidup di masa lalu.

Sosok pendaki idola sudah tak lagi saya temui. Kehangatan rumah di gunung pun sudah tak saya dapati. Kini, saya pun sudah tak lagi mendaki. Karena itu, saya malu jika disebut pendaki.


PS: Tulisan ini bisa Kamu baca di www.phinemo.com 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mereka Kira Saya Orang Kamboja

"Khap au khun sap lap" Kamu tahu nggak apa artinya? Sama, saya juga nggak ngerti. Entah apa yang diucapkan si abang penjaga pos pemeriksaan tiket Angkor Wat ini. Saya cuma nyengir nggak jelas karena bingung mau respon gimana. Beruntung supir moto dop yang mengantarkan saya waktu itu bisa berbahasa inggris. Dia bantu menerjemahkannya dalam bahasa inggris. Ternyata, si abang penjaga tiket tadi berkata, "orang Kamboja kah??" Hahhahaha.. saya terkekeh lalu berkata "I am from Indonesia" Begini muka saya, katanya sih mirip orang Khmer. Eh,, ini foto diambil pas belum mandi jadi dekil gini.  Kata Kong, driver moto dop yang saya tumpangi, muka saya ini mirip banget sama cewek-cewek Kamboja. Bahkan menurutnya, pas pertama kali bertemu, saya dikira warga lokal yang mau liburan ke Angkor Wat. Sepanjang perjalanan dari pos pemeriksaan tiket menuju Angkor Wat, kami berdua banyak ngobrol tentang wajah saya yang mirip orang lokal hingga alasan kenapa

Hati-hati, Jangan Ketiduran Saat Naik Bus Dari Hatyai ke Kuala Lumpur

Kalau yang ini, bus yang saya naiki dari Phuket ke Hatyai. Foto berasal dari sini Kejadian ini memang sudah berlalu lama, tapi belum sempet nulis. Jadi nggak papa lah ya kalo saya tulis sekarang. Ceritannya nih, pengalaman ini saya alami saat jalan-jalan ke Malaysia, Singapura, dan Thailand. Baru pertama kali ke luar negeri, jadi pantas aja kalau keliatan norak , nggak “mudengan” , kagetan , dan gumunan . Termasuk bingung dengan sistem keluar masuk negara menggunakan bus internasional. Kalau kita naik pesawat kan gampang tuh, tinggal menuju bagian migrasi, lalu antri stempel. Udah ada alur yang jelas deh pokoknya. Nah, berhubung kali ini saya naik bus antar negara, saya bingung banget gimana sistem keluar masuk negara orang. Permasalahan pertama, sopir bus nggak ngasih tahu dengan jelas kalau kita akan masuk ke pos imigrasi. Dengan gayanya yang ala-ala mafia Hongkong, doi bilang gini nih  “you go down, I’ll wait you front”. Buseeett …. Doi ngomong pak

Begini Rasanya Bermalam di KLIA 2, Kuala Lumpur Malaysia

Nasi Lemak, ransel, jaket, coca cola, dan saya di food court KLIA2. Foto oleh ECHI  "Bisa ngelepasin sabuk pengamannya nggak? Sini saya bantu", kata mas-mas paruh baya yang duduk di sebelah saya  OMOOO.. OMOOO ...OMOOO... Jinjjaaa yooooooo .... *saya nggak ngerti kata ini artinya apaan* OhMaiGwad! Ya Tuhan.. malu bangettt saya. Kelakuan norak ini muncul lagi. Seketika itu juga muka saya memerah menahan malu. Njir, udah beberapa kali naik pesawat masih kesusahan ngelepas sabuk pengaman?  Padahal sudah sangat berhati-hati buat nggak ngelakuin hal yang malu-maluin, bersikap kalem, dan nggak panik, tapi tetep aja yee ada hal yang bikin malu mulu. Mungkin, ini efek solo backpacking buat pertama kali. Jadi, tabiat norak saya muncul secara otomatis. Gomawooo oppaaa.  Yes, ini adalah penerbangan perdana saya seorang diri. Pesawat AirAsia dengan nomor penerbangan  AK 387 mendarat dengan cantik pukul 11.30 malam waktu Kuala Lumpur. Tapi, tidak dengan saya. Keja