"Khap au khun sap lap"
Kamu tahu nggak apa artinya? Sama, saya juga nggak ngerti. Entah apa yang diucapkan si abang penjaga pos pemeriksaan tiket Angkor Wat ini. Saya cuma nyengir nggak jelas karena bingung mau respon gimana.
Beruntung supir moto dop yang mengantarkan saya waktu itu bisa berbahasa inggris. Dia bantu menerjemahkannya dalam bahasa inggris. Ternyata, si abang penjaga tiket tadi berkata,
Hahhahaha.. saya terkekeh lalu berkata "I am from Indonesia"
Kata Kong, driver moto dop yang saya tumpangi, muka saya ini mirip banget sama cewek-cewek Kamboja. Bahkan menurutnya, pas pertama kali bertemu, saya dikira warga lokal yang mau liburan ke Angkor Wat.
Sepanjang perjalanan dari pos pemeriksaan tiket menuju Angkor Wat, kami berdua banyak ngobrol tentang wajah saya yang mirip orang lokal hingga alasan kenapa saya ke Kamboja sendirian. Dari obrolan itu, saya tahu, kalau ternyata pemerintah setempat tidak membebankan harga tiket masuk Angkor Wat buat warga lokal yang mau liburan ke sana. Yep, bebas biaya tiket alias gratis!
Duh, tahu gitu, sebelum lewati pos pemeriksaan saya belajar bahasa Khmer dulu. Biar bener-bener mirip warga lokal. Hahahhaa...
Beruntung supir moto dop yang mengantarkan saya waktu itu bisa berbahasa inggris. Dia bantu menerjemahkannya dalam bahasa inggris. Ternyata, si abang penjaga tiket tadi berkata,
"orang Kamboja kah??"
Hahhahaha.. saya terkekeh lalu berkata "I am from Indonesia"
Begini muka saya, katanya sih mirip orang Khmer. Eh,, ini foto diambil pas belum mandi jadi dekil gini. |
Kata Kong, driver moto dop yang saya tumpangi, muka saya ini mirip banget sama cewek-cewek Kamboja. Bahkan menurutnya, pas pertama kali bertemu, saya dikira warga lokal yang mau liburan ke Angkor Wat.
Sepanjang perjalanan dari pos pemeriksaan tiket menuju Angkor Wat, kami berdua banyak ngobrol tentang wajah saya yang mirip orang lokal hingga alasan kenapa saya ke Kamboja sendirian. Dari obrolan itu, saya tahu, kalau ternyata pemerintah setempat tidak membebankan harga tiket masuk Angkor Wat buat warga lokal yang mau liburan ke sana. Yep, bebas biaya tiket alias gratis!
Duh, tahu gitu, sebelum lewati pos pemeriksaan saya belajar bahasa Khmer dulu. Biar bener-bener mirip warga lokal. Hahahhaa...
Enaknya punya wajah yang mirip kayak warga lokal
Ini bukan kali pertama saya dikira warga lokal. Setiap kali saya masuk ke restaurant, pelayan restoran menyapa dan menawarkan menu makanan dalam bahasa Khmer. Saya berasa jadi alien yang baru aja mendarat ke bumi.
Hal yang sama pun terjadi saat saya belanja di mini market. Sering bingung saat si mbak kasir ngomong pakai bahasa Khmer. Karena nggak tahu harus respon gimana, saya cuma senyum doang saat membayar belanjaan. Paling mentok saya cuma bisa bilang "au khun" yang artinya terima kasih.
Tapi saya bersyukur punya wajah yang mirip orang Khmer. Ketika banyak turis asing dikejar-kejar dan ditawari penjual souvenir, saya dibiarkan berlalu begitu aja. Yeai! Bener-bener nggak dianggap turis,
Hmmm.. kalau kayak gini sih ada dua kemungkinan, Yang pertama, saya dikira warga lokal. Dan yang kedua, mereka pikir saya turis kere yang nggak punya duit buat beli souvenir. Keduanya pun bisa jadi sih. Hahahaha..
Tapi saya bersyukur punya wajah yang mirip orang Khmer. Ketika banyak turis asing dikejar-kejar dan ditawari penjual souvenir, saya dibiarkan berlalu begitu aja. Yeai! Bener-bener nggak dianggap turis,
Hmmm.. kalau kayak gini sih ada dua kemungkinan, Yang pertama, saya dikira warga lokal. Dan yang kedua, mereka pikir saya turis kere yang nggak punya duit buat beli souvenir. Keduanya pun bisa jadi sih. Hahahaha..
Memiliki wajah mirip dengan orang lokal merupakan suatu keberuntungan pun jadi hal yang menyebalkan
Nggak enaknya adalah saat saya diperlakukan berbeda. Seperti saat saya lagi makan di restoran di Siem Reap ini,"Hello Lady, welcome ... please take your sit. Bla bla bla ... " Mbak.. mbak pelayan melayani seorang tamu yang baru saja masuk.
"buset, ramah banget ... " pikir saya
Sedangkan saat saya tiba giliran saya, nggak ada perlakuan istimewa. Hanya disapa, "hallo lady, here's the menu ... " .. Anyep kan?
Lalu, keesokan harinya, perlakuan yang beda saya rasakan lagi saat makan bareng turis Belanda. Dari mulai masuk restoran aja, cara mereka memandang kami udah beda. Doi diperlakukan dengan ramah banget, dan saya? Biasa aja. Malah cenderung cuek. Persis kayak kamu pas lagi masuk ke salah satu outlet di mall trus mbak-mbak pelayan memandangmu dengan sebelah mata karena penampilan yang biasa aja.
Kedua, saya dapat perlakuan kurang enak dari kondektur bus Giant Ibis, bus yang nganterin saya dari Phnom Penh ke Siem Reap. Bayangin deh, Kamu berada dalam satu bus yang mayoritas di dalamnya adalah bule sedangkan saya memang paling beda di antara mereka. Nah, si kondektur ini sangat ramah banget sama penumpang lain. Tapi, ketika tiba saat dia berinteraksi dengan saya, ya udah cuek aja gitu. Nggak ada senyum-senyumnya.
***
Well, mungkin aja saya yang baper. Tapi, menurut saya nih, nggak peduli dari mana asalnya, apa warna kulitnya, turis tetaplah turis. Sama-sama datang buat liburan. Sama-sama membayar sesuai nominal yang dicantumkan. Harusnya, perlakuan yang diterima pun sama. Hal ini pun berlaku buat turis asing yang datang ke Indonesia. Perlakukannlah mereka dengan biasa aja.
Komentar
Posting Komentar