Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2017

Travelinglah Semampumu

Traveling itu seperti candu, kalau Kamu nggak bisa menggunakannya dengan bijak, maka dia akan membunuhmu Saya, Sam driver tuk-tuk, dan sepatu butut. Foto pribadi  Belakangan, trend traveling memang semakin ramai. Mereka anak generasi millennial dengan lantang menyerukan,  “ hidup cuma sekali, traveling yuk sebelum mati ” . Saya pun bagian dari mereka. Ikut menyuarakan serunya jalan-jalan. Salah satu caranya dengan memposting foto dan video perjalanan di instagram. Gunung, laut, pantai, kota, candi, tempat ibadah, bahkan padang ilalang yang bukan objek wisata pun saya singgahi. Destinasi manapun yang tampak cantik nggak luput dari ambisi pribadi untuk dikunjungi. Semakin ke sini, saya makin bimbang, sebenarnya apa sih yang saya cari dari jalan-jalan? Menghilangkan penat atau ambisi mencentang lebih banyak destinasi perjalanan? Atau hanya sekadar ingin dapatkan  symbol  “love” di instagram? Traveling itu bisa bikin lebih bahagia. Bisa ngobati patah hati juga Entahla

Tersesat Sendirian di Phuket, Tanpa Internet dan Uang

Saya, sebelum terpisah dari dua teman lainnya. Foto diambil saat kunjungi Wat Chalong. Foto oleh Kak Alfha Saya masih belum paham, sebenarnya Tuhan dulu menciptakan saya pakai ramuan apa sih? Kok sepertinya banyak banget kecerobohan yang saya lakuin. Kali ini, saya tersesat di Phuket Thailand sendirian. Oke, saya memang nggak jalan-jalan sendirian. Ada dua teman saya yang menemani. Namun, sepertinya bertiga atau pun sendirian, kecerobohan dan teledor nggak bisa lepas dari tubuh saya. Jadi, suatu siang yang panas banget, kami bertiga sepakat buat jalan-jalan ke Wat Calong, Big Buddha, dan Patong Beach. Saya naik motor sendirian, sedangkan dua teman saya berboncengan. Perjalanan ke Wat Calong dan Big Buddha berjalan lancar. Meski tanpa gps, kami bertiga bisa sampai ke tujuan dengan selamat. Tapi, masalah terjadi saat di tengah jalan menuju Patong Beach. Tiba-tiba, kedua teman saya nggak nampak. Saya menunggu cukup lama dipinggir jalan, Satu menit, lima menit, sepuluh menuh,

Saya Malu Disebut Pendaki Gunung

ME!  Mungkin pandangan saya tentang gunung sudah kuno. Mungkin saya masih tetap hidup di masa lalu Memanggul ransel di punggung, sepatu lusuh, kemeja flannel, dan ikat kepala ethnic terlihat matching dengan rambut sedikit acak-acakan. Keren dan mengagumkan. Gaya seorang pendaki, selalu bisa membuat hati berdebar. Iya, itulah perasaan yang selalu muncul ketika bertemu pendaki. Mereka keren! Sepertinya, saya sudah jatuh hati pada para pendaki gunung. Dari mata turun ke hati, saya begitu mengagumi pendaki Di mata saya, mereka para sesepuh  gunung , begitu saya memanggil mereka, memiliki kharisma tersendiri. Orang paling keren waktu itu, Vino G. Bastian, masih kalah keren dari pendaki. Dengan ransel segede kulkas dan sepatu boot, mereka begitu mudah menjadi idola remaja saat itu. Yang namanya fans, pasti selalu ingin tahu tentang idolanya. "Mas, udah mendaki gunung mana saja?" Itu salah satu pertanyaan klasik yang selalu saya, si pemula ini, lontarkan. Sek